GAWAT JANIN
A.
Gawat Janin Dalam Persalinan
1.
Pengertian Gawat Janin
Secara luas istilah gawat janin telah banyak
dipergunakan, tapi definisi istilah ini sangat sempit dan istilah ini biasanya
menandakan kekhawatiran obstetris tentang keadaan janin, yang kemudian berakhir
dengan seksio sesarea atau persalinan buatan lainnya.
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung
denyut jantung janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam
cairan amniom. Sering dianggap DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan
mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis. Akan tetapi, hal tersebut
seringkali tidak benar.
Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan
hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh hipertermia, sekunder dari
infeksi intrauterin. Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau asidosis.
Sebaliknya, bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak
berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin.
Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan kriteria
apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin, bila ditemukan
denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit, denyut jantung
tidak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan. (8)
2.
Pemeriksaan Diagnostik
Auskultasi intermiten jantung janin telah digunakan
sejak abad ke-20. Sir Andrew Claye menulis sebagai berikut:
a. DJJ, irama, dan intensitasnya harus
diperiksa setiap 2 jam selama kala I asal ketuban masih intak, dan bila telah
pecah harus dilakukan setiap ½ jam.
b. Auskultasi harus dilakukan setelah
selesai suatu kontraksi untuk memberi kesempatan pada jantung berubah ke denyut
jantung normal.
Jelas auskultasi dengan cara demikian akan gagal
menemukan deselerasi lambat, salah satu yang paling sensitif sebagai indikator
hipoksia selama persalinan. Hipoksia merupakan suatu keadaan patologis yang
ditandai oleh berkurangnya konsentrasi/kadar oksigen di dalam jaringan-jaringan
dan darah (asidenia).
Persalinan darurat dari janin dengan takikardia
(≥160 denyut/menit) atau suatu bradikardia (≤120 denyut/menit) atau DJJ yang
iregular iramanya (tanda gawat janin tradisional lainnya). Yang terdeteksi
dengan penggunaan auskultasi intermiten, seringkali menghasilkan janin dengan
tanda-tanda bayi sehat, sedangkan janin yang lahir terlebih dahulu mati inutero
tanpa tanda-tanda peringan terlebih dahulu. Hal ini mungkin disebabkan
auskultasi intermiten tidak dapat menilai variabilitas DJJ dan tidak mampu
mendeteksi deselerasi DJJ karena keadaan ini biasanya terjadi berhubungan dengan
kontraksi-kontraksi rahim yang membuat bunyi-bunyi denyut jantung janin sulit
untuk didengar. Auskultasi hendaknya dilakukan segera setelah suatu kontraksi
guna mendeteksi deselerasi yang ada. Bila ditemukan ≥150 denyut/menit, atau
≤110 denyut/menit (menurut FIGO), atau lambat setelah suatu kontraksi,
disarankan penggunaan alat pemantau janin elektrik (electronic fetal
monitoring) untuk mengetahui pola DJJ. Frekuensi auskultasi hendaknya lebih
sering dilakukan pada kala II, segera setelah setiap kali kontraksi. Bila
jantung janin sulit di dengar, pergunakan alat dopler yang portabel. Hal ini
sangat bermanfaat, parturien sering aktif sehingga penggunaan stetoskop pinard
sulit dilakukan. (6)
3.
Pemantauan Janin Berkesinambungan Secara
Elektronik (PJB)
Pada awal penggunaan PJB, antusiasme timbul untuk
mengurangi kematian intrapartum dan menurunkan kematian perinatal dan gangguan
neorologis di kemuan hari. Awal penelitian-penelitian secara retrospektif
memberi kesan ada hubungannya dengan penurunan Perinatal Mortality Rate (PMR) yang cukup besar, sebesar 50% dari
kesakitan dan kematian perinatal.
Walaupun demikian, penelitian lain kurang antusias,
malah melaporkan meningkatnya intervensi akibat penggunaan PJB, tanpa manfaat
yang jelas. Terdapat 12 randomized controlled clinical trials dari PJB
dibandingkan auskultasi/catatan secara intermiten. Sembilan diantaranya
berdasarkan hasil meta analisis Vintzilleos dan kawan-kawan yang meliputi
18.561 penderita. Hasilnya ditemukan insidensi seksio sesarea meningkat dengan
penggunaan PJB ini (odds ratio 1.53,95%/convidence interval (CI) 1.17-2.01).
Tidak terdapat penurunan yang berarti dari PMR
(4,2/1000 pada kelompok PJB jika dibandingkan dengan auskultasi intermiten yang
besarnya 4,9/1000). Meskipun demikian, terdapat pengurangan yang signifikan
dari kematian akibat hipoksia dari kedua kelompok, 0,7/1000 dan 1,8/1000 (odds
ratio 0.41,95% CI 0.17-0,98). Hasil tiga penelitian lainnya, berdasarkan meta
analisis memberi hasil yang sama. Dengan demikian, menurut hasil penelitian
tersebut PJB tidak perlu dipergunakan secara rutin pada semua persalinan.
(6)
4.
Fetal Blood Sampling (FBS)
Sering
dilupakan, FBS dan pengukuran pH ini dipergunakan di klinik sebelum PJB yang
kesinambungan. Bagaimanapun FBS ini memakan waktu, tidak nyaman pelaksanaannya,
dan tidak menyenangkan bagi penderita.
Jadi,
dengan di pergunakannya PJB pada Akhir 1960 sangat menjanjikan sebagai sarana
penapisan, memilih 40% dari janin-janin dengan pola DJJ yang abnormal untuk
ditindak lanjuti pemeriksaannya.
Beard
et al menyatakan bahwa DJJ normal selama persalinan berhubungan dengan resiko
asidosis yang sangat rendah, kurang dari 2% janin-janin pH nya kurang <
7,20. Meskipun demikian, 40% dari janin-janin yang memperlihatkan pola DJJ
abnormal pada kala persalinan yang sama berada pada resiko dilakukannya
persalinan buatan yang sebenarnya tidak perlu atau tidak penting bila
diagnosisnya menyandarkan diri hanya pada kriteria “gawat janin” menurut DJJ.
Bahkan, dengan pola DJJ yang paling abnormal sekalipun, takikardia dengan
deselerasi lambat, hanya 50% janin-janin ditemukan asidosis pada fetal blood
sampling. Beard et al, berkomentar bahwa seandainya pemantauan DJJ
berkesinambungan dipergunakan di praktik klinik, maka sejumlah false (+)
asfiksia janin akan dibuat.
Dari
segi praktis pencatatan DJJ yang abnormal harus dianggap sebagai tanda
peringatan dari indikasi dikerjakannya pengukuran pH janin. Neilson dalam
British medical journal 1993, berpendapat bahwa bukti yang ada tidak mendukung
pemantauan DJJ secara berkesinambungan pada semua persalinan. Pada persalinan
normal auskultasi intermiten dengan stetoskop pinard tidak dapat dianggap
sebagai suatu bentuk penilaian yang tidak ade kuat atau tidak berarti. Meskipun
demikian, ia mengusulkan bahwa FBS cukup memadai untuk persalinan dengan
komplikasi seperti partus lama, akselerasi atau induksi, kehamilan ganda,
cairan amnion dengan mekonium, dan IUGR atau prematuritas
a. Dengan demikian pemantauan dasar janin
termasuk auskultasi DJJ yang teratur selama persalinan, hendaknya dilakukan
setiap 15 menit pada kala I dan setelah setiap kali kontraksi pada kala II.
Denyutnya harus di hitung selama satu menit, dimulai diantara dua kontraksi.
b. DJJ < 110 dpm atau > 150 dpm
merupakan indikasi dianjurkannya penggunaan FBS. Penghitungan pH janin harus dilakukan seandainya DJJ abnormal,
tanpa ini maka insidensi seksio sesarea yang tidak penting akan tinggi.
c. Bila ditemukan tanda-tanda “gawat
janin”, maka penderita dimiringkan kesebelah kiri, beri O2 dengan
menggunkan masker, hentikan pemberian oksitosin, dan beri totolitik bila
terjadi hiperstimulasi. Tindakan di atas disebut resusitasi intrauterin.
Biasanya dilakukan selama 20 menit dan kemudian nilai keberhasilan tindakan
tersebut diatas.
d. Pada kasus dengan kewarnaan mekonium
dalam cairan amnion tindakannya adalah :
1) Pencatatan DJJ secara berkesinambuangan
diteruskan
2) Hindari kejadian-kejadian yang
mempercepat hipoksia janin (hipotensi, hiperstimulasi uterus)
3) Amnioinfusion mengurangi resiko seksio
sesaria gawat janin, assidemia janin, dan sindroma aspirasi mekonium. (6)
5.
Pengelolaan Denyut Jantung Janin
a. Cara-cara pemantauan
1) Kasus resiko rendah – auskultasi teratur
DJJ selama persalinan:
a) Setiap 15 menit selama kala I
b) Setiap setelah his pada kala II
c) Hitung selama 1 menit bila his telah
selesai
2) Kasus resiko tinggi – pergunakan
pemantauan DJJ elektronik secara berkesinambungan (hendaknya sarana untuk
pemeriksaan pH darah janin disediakan)
b. Interpretasi dan pengelolaan
1) Untuk memperbaiki aliran darah uterus
a) Miringkan ibu kesebelah kiri untuk
memperbaiki sirkulasi plasenta.
b) Hentikan infus oksitosin (bila sedang
diberikan)
c) Untuk memperbaiki hipotensi ibu (setelah
pemberian anestesi epidural) segera berikan infus 1 liter kristoloid (larutan
Ringer)
d) Kecepatan infus cairan-cairan
intravaskular hendaknya dinaikkan untuk meningkatkan aliran darah arteri
uterina
2) Untuk memperbaiki aliran darah umblikus
: ubah posisi ibu seperti yang tersebut diatas
3) Beri ibu oksigen dengan kecepatan 6-8 l/
menit
4) Perlu kehadiran seorang dokter spesialis
anak
Biasanya resusitasi intrauterin tersebut
diatas dilakukan selama 20 menit
c. Tergantung pada terpenuhinya
syarat-syarat melahirkan janin dapat pervaginam ataupun perabdominam. (6)
6.
Etiologi
a. Hipoksia awal pada janin
Janin
melakukan kompensasi untuk mengurangi aliran darah dengan meningkatkan
stimulasi simpatik atau melepaskan epinefrin dari medulla adrenal atau
keduanya.
b. Demam
pada maternal
Mempercepat
metabolisme dari miokardium janin, meningkatkan aktifitas kardia akselerasi
simpatik sampai 2 jam sebelum ibu demam.
7.
Diagnosis
a. Diagnosis gawat janin saat persalinan
didasarkan pada denyut jantung janin yang abnormal. Diagnosis lebih pasti jika
disertai air ketuban hijau dan kental/sedikit
b. Gawat janin dapat terjadi dalam
persalinan karena partus lama, infus oksitoksin, perdarahan, infeksi,
insufiensi plasenta, ibu diabetes, kehamilan preterm dan postterm atau
prolapsus tali pusat. Hal ini harus segera di deteksi dan perlu penanganan
segera. (8)
8.
Denyut Jantung Janin Abnormal
a. Kelainan Denyut Jantung Janin (DJJ)
1) DJJ normal dapat melambat sewaktu his,
dan segera kembali normal setelah relaksasi
2) DJJ lambat (kurang dari 100/menit) saat
tidak ada his, menunjukkan adanya gawat janin
3) DJJ cepat (lebih dari 180/menit) yang
disertai takhikardi ibu bisa karena ibu demam, efek obat, hipertensi atau
amnionitis. Jika denyut jantung ibu normal, denyut jantung janin yang cepat
sebaiknya dianggap sebagai tanda gawat janin
b. Mekonium
1) Adanya mekonium pada cairan amnion lebih
sering terlihat saat janin mencapai maturitas dan dengan sendirinya bukan
merupakan tanda-tanda gawat janin. Sedikit mekonium tanpa dibarengi dengan
kelainan pada denyut jantung janin merupakan suatu peringatan untuk pengawasan
lebih lanjut
2) Mekonium kental merupakan tanda
pengeluaran mekonium pada cairan amnion yang berkurang dan merupakan indikasi
perlunya persalinan yang lebih cepat dan penanganan mekonium pada saluran nafas
atas neonatus untuk mencegah aspirasi mekonium
3) Pada presentasi sungsang mekonium
dikeluarkan pada saat persalinan akibat kompresi abdomen janin pada persalinan.
Hal ini bukan merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini terjadi pada awal
persalinan. (8)
9.
Penanganan Khusus
Jika
denyut jantung janin diketahui tidak normal, dengan atau tanpa kontaminasi
mekonium pada cairan amnion lakukan hal sebagai berikut
a. Jika sebab dari ibu diketahui (seperti
demam, obat-obatan) mulailah penanganan yang sesuai
b. Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan
denyut jantung janin tetap abnormal sepanjang paling sedikit tiga kontraksi
lakukan pemeriksaan dalam untuk mencari penyebab gawat janin:
1) Jika terdapat perdarahan dengan nyeri
yang hilang timbul atau menetap pikirkan kemungkinan solusio plasenta
2) Jika terdapat tanda-tanda infeksi
(demam, sekret vagina berbau tajam) berikan antibiotika untuk amnionitis
3) Jika tali pusat terletak di bawah bagian
bawah janin atau dalam vagina lakukan penanganan prolaps tali pusat
c. Jika denyut jantung janin tetap abnormal
atau jika terdapat tanda-tanda lain gawat janin (mekonium kental pada cairan
amnion) rencanakan persalinan :
1) Jika serviks telah berdilatasi dan
kepala janin tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau bagian teratas
tulang kepala janin pada station 0. Lakukan persalinan dengan ekstraksi vakum
atau forseps
2) Jika serviks tidak berdilatasi penuh dan
kepala janin berada lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau bagian teratas
tulang kepala janin berada di atas stasion 0 lakukan persalinan dengan seksio
sesarea (9)
PROLAPS TALI PUSAT
A. Pengertian
Tali
pusat terkemukan (diketahui saat ketuban masih utuh) dan tali pusat menumbung
(ketuban sudah pecah) sama bahayanya dan mengancam kehidupan janin
B. Klasifikasi
Prolaps Tali Pusat
1.
Tali pusat terkemuka
bila tali pusat berada di bawah bagian rendah janin dan ketuban masih intak
2.
Tali pusat menumbung
bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah ke serviks dan turun ke
vagina
3.
Occult prolapse tali
pusat berada di samping bagian terendah janin turun ke vagina. Tali pusat dapat
teraba atau tidak, ketuban dapat pecah atau tidak
C. Prevalensi
Prolaps Tali Pusat
Faktor
dasar yang merupakan faktor predisposisi prolaps tali pusat adalah tidak
terisinya secara penuh pintu atas panggul dan serviks oleh bagian terendah
janin.
Faktor-faktor
etiologi prolaps tali pusat meliputi beberapa faktor yang sering berhubungkan
dengan ibu, janin, plasenta, tali pusat dan iatrogenik
1.
Presentasi yang
abnormal seperti letak lintang atau letak sungsang terutama presentasi kaki
2.
Prematuritas
3.
Kehamilan ganda
4.
Polihidramnion sering
dihubungkan dengan bagian terendah janin yang tidak engage
5.
Multiparitas predisposisi
terjadinya malpresentasi
6.
Disproporsi janin
panggul
7.
Tumor di panggul yang
mengganggu masuknya bagian terendah janin
8.
Tali pusat abnormal
panjang (>75cm)
9.
Plasenta letak rendah
D. Patopisiologi
prolaps tali pusat
Tekanan
pada tali pusat oleh bagian terndah janin dan jalan lahir akan mengurangi atau
menghilangkan sirkulasi plasenta. Bila tidak di koreksi, komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian janin.
Obstruksi
yang lengkap dari tali pusat menyebabkan dengan segera berkurangnya detak
jantung janin (deselerasi variabel). Bila obstruksinya hilang dengan cepat,
letak jantung janin akan kembali normal. Akan tetapi bila obstruksinya menetap
terjadilah deselerasi yang dilanjutkan dengan hipoksia langsung terhadap miokard
sehingga mengakibatkan deselerasi yang lama. Bila dibiarkan, terjadilah
kematian janin.
Seandainya
obstruksinya sebagian, akan menyebabkan akselerasi detak jantung. Penutupan
vena umbilikalis mendahului penutupan arteri yang menghasilkan hipovolemi janin
dan mengakibatkan akselerasi jantung janin. Gangguan aliran darah yang lama
melalui tali pusat menghasilkan asidosis respiratoir dan metabolik yang berat,
berkurangnya oksigenisasi janin, bradikardia yang menetap, dan akhirnya
kematian janin. prolaps tali pusat tidak berpengaruh langsung pada kehamilan
atau jalannya persalinan.
E. Diagnosis
Diagnosis
prolaps tali pusat dapat melibatkan beberapa cara.
1.
Melihat tali pusat
keluar dari intorius vagina
2.
Teraba secara kebetulan
tali pusat pada waktu pemeriksaan dalam
3.
Auskultasi terdengar
jantung janin yang ireguler, sering dengan bradikardi yang jelas, terutama
berhubungan dengan kontraksi uterus
4.
Monitoring denyut
jantung janin yang berkesinambungan memperlihatkan adanya deselerasi variabel
5.
Tekanan pada bagian
terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap pintu atas panggul menyebabkan
menurunya detak jantung secara tiba-tiba yang menandakan kompresi tali pusat
Diagnosis dini sangat penting untuk kehidupan
janin meskipun demikian, keterlambatan diagnosis adalah biasa. Pada setiap
gawat janin harus segera melakukan pemeriksaan dalam.
Penderita yang mempunyai resiko tinggi
terjadinya prolaps tali pusat harus dipantau FHR yang berkesnimabungan, yang
memberi peringatan dini adanya kompresi tali pusat lebih dari 80% kasus.
Komplikasi
ibu seperti laserasi jalan lahir, ruptura uteri, atonia uteri akibat anestesia,
anemia dan infeksi dapat terjadi sebagai akibat dari usaha menyelematkan bayi.
Kematian prinatal sekitar 20-30%. Prognosis janin membaik dengan seksio sesarea
secara liberal untuk terapi prolaps tali pusat.
Prognosis
janin bergantung kepada beberapa faktor berikut.
1.
Angka kematian untuk
bayi prematur dengan prolaps tali pusat hampir empat kali lebih tinggi daripada
bayi aterm
2.
Bila gawat janin
dibuktikan oleh detak jantung yang abnormal, adanya cairan amnion yang
terwarnai oleh mekonium, atau tali pusat pulsasinya lemah, maka prognosis janin
buruk
3.
Jarak terjadinya antara
prolaps dan persalinan merupakan faktor yang paling kritis untuk janin hidup
4.
Dikenalnya segera
prolaps memperbaiki kemungkinan janin hidup
5.
Angka kematian janin
pada prolaps tali pusat yang letaknya sungsang
atau lintang sama tingginya dengan presentasi kepala hal ini
menghapuskan perkiraan bahwa pada kedua letak janin yang abnormal tekanan pada
li pusatnya tidak kuat.
G. Penanganan
khusus
Tali
pusat berdenyut
Jika
tali pusat berdenyut berarti janin masih hidup
1.
Beri oksigen 4-6 liter
permenit melalui masker atau kanula masal
2.
Posisi ibu
trendelenburg
3.
Diagnosis tahapan
persalinan melalui pemeriksaan dalam segera
4.
Jika ibu pada
persalinan kala I
a.
Dengan sarung tangan
disinfeksi tingkat tinggi (DTT) masukkan tangan dalam vagina dan bagian terndah
janin di dorong keatas sehingga tahanan pada tali pusat dapat dikurangi.
b.
Tangan yang lain
menahan bagian terendah di supprapubis dan evaluasi keberhasilan reposisi.
c.
Jika bagian terbawah
janin telah terpegang dengan kuat diatas rongga panggul, keluarkan tangan dari
vagina. Letakkan tangan tetap diatas abdomen sampai dilakukan secsio sesarea.
d.
Jika tersedia berikan
salbutamol 0,5mg I.V, secara perlahan untuk mengurangi kontraksi rahim
e.
Segera lakukan secsio
sesarea.
5.
Jika ibu pada persalinan kala II
a.
Pada presentasi kepala
lakukan segera persalinan dengan ekstrasi vakum (hal P-20) atau ekstraksi cunam
/forseps (hal. P-24) dengan episiotomi (hal P-16)
b.
Jika presentasi
bokong/sungsang lakukan ekstraksi bokong atau kaki (hal. P-32) dan gunakan
forseps piper atau panjang untuk melahirkan kepala yang menyusul (hal P-30)
c.
Jika letak lintang,
siapkan segera secsio sesarea
d.
Siapkan segera
resusitasi neonatus (hal M-118)
H. Tali
Pusat Tak Berdenyut
Jika
tali pusat tak berdenyut berarti janin telah meninggal. Keadaan ini sudah tidak
merupakan tindakan darurat lagi dan lahirkan bayi sealamiah mungkin tanpa
mencederai ibu. Pergunakan waktu untuk memberikan konseling pada ibu dan
keluarganya tentang apa yang terjadi dan tindakan apa yang akan dilakukan.
Diharapkan persalinan dapat berlangsung spontan pervaginam.
No comments:
Post a Comment