Wednesday, 3 December 2014

GAWAT JANIN



GAWAT JANIN

A.      Gawat Janin Dalam Persalinan
1.             Pengertian Gawat Janin
Secara luas istilah gawat janin telah banyak dipergunakan, tapi definisi istilah ini sangat sempit dan istilah ini biasanya menandakan kekhawatiran obstetris tentang keadaan janin, yang kemudian berakhir dengan seksio sesarea atau persalinan buatan lainnya.
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam cairan amniom. Sering dianggap DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis. Akan tetapi, hal tersebut seringkali tidak benar.
Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh hipertermia, sekunder dari infeksi intrauterin. Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan  dengan hipoksia janin atau asidosis. Sebaliknya, bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin.
Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan kriteria apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin, bila ditemukan denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit, denyut jantung tidak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan. (8)
2.             Pemeriksaan Diagnostik
Auskultasi intermiten jantung janin telah digunakan sejak abad ke-20. Sir Andrew Claye menulis sebagai berikut:
a.    DJJ, irama, dan intensitasnya harus diperiksa setiap 2 jam selama kala I asal ketuban masih intak, dan bila telah pecah harus dilakukan setiap ½ jam.
b.    Auskultasi harus dilakukan setelah selesai suatu kontraksi untuk memberi kesempatan pada jantung berubah ke denyut jantung normal.
Jelas auskultasi dengan cara demikian akan gagal menemukan deselerasi lambat, salah satu yang paling sensitif sebagai indikator hipoksia selama persalinan. Hipoksia merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai oleh berkurangnya konsentrasi/kadar oksigen di dalam jaringan-jaringan dan darah (asidenia).
Persalinan darurat dari janin dengan takikardia (≥160 denyut/menit) atau suatu bradikardia (≤120 denyut/menit) atau DJJ yang iregular iramanya (tanda gawat janin tradisional lainnya). Yang terdeteksi dengan penggunaan auskultasi intermiten, seringkali menghasilkan janin dengan tanda-tanda bayi sehat, sedangkan janin yang lahir terlebih dahulu mati inutero tanpa tanda-tanda peringan terlebih dahulu. Hal ini mungkin disebabkan auskultasi intermiten tidak dapat menilai variabilitas DJJ dan tidak mampu mendeteksi deselerasi DJJ karena keadaan ini biasanya terjadi berhubungan dengan kontraksi-kontraksi rahim yang membuat bunyi-bunyi denyut jantung janin sulit untuk didengar. Auskultasi hendaknya dilakukan segera setelah suatu kontraksi guna mendeteksi deselerasi yang ada. Bila ditemukan ≥150 denyut/menit, atau ≤110 denyut/menit (menurut FIGO), atau lambat setelah suatu kontraksi, disarankan penggunaan alat pemantau janin elektrik (electronic fetal monitoring) untuk mengetahui pola DJJ. Frekuensi auskultasi hendaknya lebih sering dilakukan pada kala II, segera setelah setiap kali kontraksi. Bila jantung janin sulit di dengar, pergunakan alat dopler yang portabel. Hal ini sangat bermanfaat, parturien sering aktif sehingga penggunaan stetoskop pinard sulit dilakukan. (6)
3.             Pemantauan Janin Berkesinambungan Secara Elektronik (PJB)
Pada awal penggunaan PJB, antusiasme timbul untuk mengurangi kematian intrapartum dan menurunkan kematian perinatal dan gangguan neorologis di kemuan hari. Awal penelitian-penelitian secara retrospektif memberi kesan ada hubungannya dengan penurunan Perinatal Mortality Rate (PMR) yang cukup besar, sebesar 50% dari kesakitan dan kematian perinatal.
Walaupun demikian, penelitian lain kurang antusias, malah melaporkan meningkatnya intervensi akibat penggunaan PJB, tanpa manfaat yang jelas. Terdapat 12 randomized controlled clinical trials dari PJB dibandingkan auskultasi/catatan secara intermiten. Sembilan diantaranya berdasarkan hasil meta analisis Vintzilleos dan kawan-kawan yang meliputi 18.561 penderita. Hasilnya ditemukan insidensi seksio sesarea meningkat dengan penggunaan PJB ini (odds ratio 1.53,95%/convidence interval (CI) 1.17-2.01).
Tidak terdapat penurunan yang berarti dari PMR (4,2/1000 pada kelompok PJB jika dibandingkan dengan auskultasi intermiten yang besarnya 4,9/1000). Meskipun demikian, terdapat pengurangan yang signifikan dari kematian akibat hipoksia dari kedua kelompok, 0,7/1000 dan 1,8/1000 (odds ratio 0.41,95% CI 0.17-0,98). Hasil tiga penelitian lainnya, berdasarkan meta analisis memberi hasil yang sama. Dengan demikian, menurut hasil penelitian tersebut PJB tidak perlu dipergunakan secara rutin pada semua persalinan. (6)
4.             Fetal Blood Sampling (FBS)
Sering dilupakan, FBS dan pengukuran pH ini dipergunakan di klinik sebelum PJB yang kesinambungan. Bagaimanapun FBS ini memakan waktu, tidak nyaman pelaksanaannya, dan tidak menyenangkan bagi penderita.
Jadi, dengan di pergunakannya PJB pada Akhir 1960 sangat menjanjikan sebagai sarana penapisan, memilih 40% dari janin-janin dengan pola DJJ yang abnormal untuk ditindak lanjuti pemeriksaannya.
Beard et al menyatakan bahwa DJJ normal selama persalinan berhubungan dengan resiko asidosis yang sangat rendah, kurang dari 2% janin-janin pH nya kurang < 7,20. Meskipun demikian, 40% dari janin-janin yang memperlihatkan pola DJJ abnormal pada kala persalinan yang sama berada pada resiko dilakukannya persalinan buatan yang sebenarnya tidak perlu atau tidak penting bila diagnosisnya menyandarkan diri hanya pada kriteria “gawat janin” menurut DJJ. Bahkan, dengan pola DJJ yang paling abnormal sekalipun, takikardia dengan deselerasi lambat, hanya 50% janin-janin ditemukan asidosis pada fetal blood sampling. Beard et al, berkomentar bahwa seandainya pemantauan DJJ berkesinambungan dipergunakan di praktik klinik, maka sejumlah false (+) asfiksia janin akan dibuat.
Dari segi praktis pencatatan DJJ yang abnormal harus dianggap sebagai tanda peringatan dari indikasi dikerjakannya pengukuran pH janin. Neilson dalam British medical journal 1993, berpendapat bahwa bukti yang ada tidak mendukung pemantauan DJJ secara berkesinambungan pada semua persalinan. Pada persalinan normal auskultasi intermiten dengan stetoskop pinard tidak dapat dianggap sebagai suatu bentuk penilaian yang tidak ade kuat atau tidak berarti. Meskipun demikian, ia mengusulkan bahwa FBS cukup memadai untuk persalinan dengan komplikasi seperti partus lama, akselerasi atau induksi, kehamilan ganda, cairan amnion dengan mekonium, dan IUGR atau prematuritas           
a.       Dengan demikian pemantauan dasar janin termasuk auskultasi DJJ yang teratur selama persalinan, hendaknya dilakukan setiap 15 menit pada kala I dan setelah setiap kali kontraksi pada kala II. Denyutnya harus di hitung selama satu menit, dimulai diantara  dua kontraksi.
b.      DJJ < 110 dpm atau > 150 dpm merupakan indikasi dianjurkannya penggunaan FBS. Penghitungan pH janin  harus dilakukan seandainya DJJ abnormal, tanpa ini maka insidensi seksio sesarea yang tidak penting akan tinggi.
c.       Bila ditemukan tanda-tanda “gawat janin”, maka penderita dimiringkan kesebelah kiri, beri O2 dengan menggunkan masker, hentikan pemberian oksitosin, dan beri totolitik bila terjadi hiperstimulasi. Tindakan di atas disebut resusitasi intrauterin. Biasanya dilakukan selama 20 menit dan kemudian nilai keberhasilan tindakan tersebut diatas.
d.      Pada kasus dengan kewarnaan mekonium dalam cairan amnion tindakannya adalah : 
1)      Pencatatan DJJ secara berkesinambuangan diteruskan
2)      Hindari kejadian-kejadian yang mempercepat hipoksia janin (hipotensi, hiperstimulasi uterus)
3)      Amnioinfusion mengurangi resiko seksio sesaria gawat janin, assidemia janin, dan sindroma aspirasi mekonium. (6)
5.             Pengelolaan Denyut Jantung Janin
a.       Cara-cara pemantauan
1)      Kasus resiko rendah – auskultasi teratur DJJ selama persalinan:
a)      Setiap 15 menit selama kala I
b)      Setiap setelah his pada kala II
c)      Hitung selama 1 menit bila his telah selesai
2)      Kasus resiko tinggi – pergunakan pemantauan DJJ elektronik secara berkesinambungan (hendaknya sarana untuk pemeriksaan pH darah janin disediakan)  
b.      Interpretasi dan pengelolaan
1)      Untuk memperbaiki aliran darah uterus
a)      Miringkan ibu kesebelah kiri untuk memperbaiki sirkulasi plasenta.
b)      Hentikan infus oksitosin (bila sedang diberikan)
c)      Untuk memperbaiki hipotensi ibu (setelah pemberian anestesi epidural) segera berikan infus 1 liter kristoloid (larutan Ringer)
d)     Kecepatan infus cairan-cairan intravaskular hendaknya dinaikkan untuk meningkatkan aliran darah arteri uterina  
2)      Untuk memperbaiki aliran darah umblikus : ubah posisi ibu seperti yang tersebut diatas
3)      Beri ibu oksigen dengan kecepatan 6-8 l/ menit
4)      Perlu kehadiran seorang dokter spesialis anak
Biasanya resusitasi intrauterin tersebut diatas dilakukan selama 20 menit 
c.       Tergantung pada terpenuhinya syarat-syarat melahirkan janin dapat pervaginam ataupun perabdominam. (6)  
6.             Etiologi
a.       Hipoksia awal pada janin
Janin melakukan kompensasi untuk mengurangi aliran darah dengan meningkatkan stimulasi simpatik atau melepaskan epinefrin dari medulla adrenal atau keduanya.
b.       Demam pada maternal
Mempercepat metabolisme dari miokardium janin, meningkatkan aktifitas kardia akselerasi simpatik sampai 2 jam sebelum ibu demam.
7.             Diagnosis
a.       Diagnosis gawat janin saat persalinan didasarkan pada denyut jantung janin yang abnormal. Diagnosis lebih pasti jika disertai air ketuban hijau dan kental/sedikit
b.      Gawat janin dapat terjadi dalam persalinan karena partus lama, infus oksitoksin, perdarahan, infeksi, insufiensi plasenta, ibu diabetes, kehamilan preterm dan postterm atau prolapsus tali pusat. Hal ini harus segera di deteksi dan perlu penanganan segera. (8)
8.             Denyut Jantung Janin Abnormal
a.       Kelainan Denyut Jantung Janin (DJJ)
1)      DJJ normal dapat melambat sewaktu his, dan segera kembali normal setelah relaksasi
2)      DJJ lambat (kurang dari 100/menit) saat tidak ada his, menunjukkan adanya gawat janin
3)      DJJ cepat (lebih dari 180/menit) yang disertai takhikardi ibu bisa karena ibu demam, efek obat, hipertensi atau amnionitis. Jika denyut jantung ibu normal, denyut jantung janin yang cepat sebaiknya dianggap sebagai tanda gawat janin 
b.      Mekonium
1)      Adanya mekonium pada cairan amnion lebih sering terlihat saat janin mencapai maturitas dan dengan sendirinya bukan merupakan tanda-tanda gawat janin. Sedikit mekonium tanpa dibarengi dengan kelainan pada denyut jantung janin merupakan suatu peringatan untuk pengawasan lebih lanjut
2)      Mekonium kental merupakan tanda pengeluaran mekonium pada cairan amnion yang berkurang dan merupakan indikasi perlunya persalinan yang lebih cepat dan penanganan mekonium pada saluran nafas atas neonatus untuk mencegah aspirasi mekonium
3)      Pada presentasi sungsang mekonium dikeluarkan pada saat persalinan akibat kompresi abdomen janin pada persalinan. Hal ini bukan merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini terjadi pada awal persalinan. (8)
9.             Penanganan Khusus
Jika denyut jantung janin diketahui tidak normal, dengan atau tanpa kontaminasi mekonium pada cairan amnion lakukan hal sebagai berikut
a.       Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah penanganan yang sesuai
b.      Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal sepanjang paling sedikit tiga kontraksi lakukan pemeriksaan dalam untuk mencari penyebab gawat janin:
1)      Jika terdapat perdarahan dengan nyeri yang hilang timbul atau menetap pikirkan kemungkinan solusio plasenta
2)      Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau tajam) berikan antibiotika untuk amnionitis
3)      Jika tali pusat terletak di bawah bagian bawah janin atau dalam vagina lakukan penanganan prolaps tali pusat
c.       Jika denyut jantung janin tetap abnormal atau jika terdapat tanda-tanda lain gawat janin (mekonium kental pada cairan amnion) rencanakan persalinan :
1)      Jika serviks telah berdilatasi dan kepala janin tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau bagian teratas tulang kepala janin pada station 0. Lakukan persalinan dengan ekstraksi vakum atau forseps
2)      Jika serviks tidak berdilatasi penuh dan kepala janin berada lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau bagian teratas tulang kepala janin berada di atas stasion 0 lakukan persalinan dengan seksio sesarea (9) 

PROLAPS TALI PUSAT
A.    Pengertian
Tali pusat terkemukan (diketahui saat ketuban masih utuh) dan tali pusat menumbung (ketuban sudah pecah) sama bahayanya dan mengancam kehidupan janin
B.     Klasifikasi Prolaps Tali Pusat 
1.      Tali pusat terkemuka bila tali pusat berada di bawah bagian rendah janin dan ketuban masih intak
2.      Tali pusat menumbung bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah ke serviks dan turun ke vagina
3.      Occult prolapse tali pusat berada di samping bagian terendah janin turun ke vagina. Tali pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat pecah atau tidak 
C.     Prevalensi Prolaps Tali Pusat  
Faktor dasar yang merupakan faktor predisposisi prolaps tali pusat adalah tidak terisinya secara penuh pintu atas panggul dan serviks oleh bagian terendah janin.
Faktor-faktor etiologi prolaps tali pusat meliputi beberapa faktor yang sering berhubungkan dengan ibu, janin, plasenta, tali pusat dan iatrogenik
1.      Presentasi yang abnormal seperti letak lintang atau letak sungsang terutama presentasi kaki
2.      Prematuritas
3.      Kehamilan ganda
4.      Polihidramnion sering dihubungkan dengan bagian terendah janin yang tidak engage
5.      Multiparitas predisposisi terjadinya malpresentasi
6.      Disproporsi janin panggul
7.      Tumor di panggul yang mengganggu masuknya bagian terendah janin
8.      Tali pusat abnormal panjang (>75cm)
9.      Plasenta letak rendah
D.    Patopisiologi prolaps tali pusat
Tekanan pada tali pusat oleh bagian terndah janin dan jalan lahir akan mengurangi atau menghilangkan sirkulasi plasenta. Bila tidak di koreksi, komplikasi ini dapat mengakibatkan kematian janin.
Obstruksi yang lengkap dari tali pusat menyebabkan dengan segera berkurangnya detak jantung janin (deselerasi variabel). Bila obstruksinya hilang dengan cepat, letak jantung janin akan kembali normal. Akan tetapi bila obstruksinya menetap terjadilah deselerasi yang dilanjutkan dengan hipoksia langsung terhadap miokard sehingga mengakibatkan deselerasi yang lama. Bila dibiarkan, terjadilah kematian janin.
Seandainya obstruksinya sebagian, akan menyebabkan akselerasi detak jantung. Penutupan vena umbilikalis mendahului penutupan arteri yang menghasilkan hipovolemi janin dan mengakibatkan akselerasi jantung janin. Gangguan aliran darah yang lama melalui tali pusat menghasilkan asidosis respiratoir dan metabolik yang berat, berkurangnya oksigenisasi janin, bradikardia yang menetap, dan akhirnya kematian janin. prolaps tali pusat tidak berpengaruh langsung pada kehamilan atau jalannya persalinan.
E.     Diagnosis
Diagnosis prolaps tali pusat dapat melibatkan beberapa cara.
1.      Melihat tali pusat keluar dari intorius vagina
2.      Teraba secara kebetulan tali pusat pada waktu pemeriksaan dalam
3.      Auskultasi terdengar jantung janin yang ireguler, sering dengan bradikardi yang jelas, terutama berhubungan dengan kontraksi uterus
4.      Monitoring denyut jantung janin yang berkesinambungan memperlihatkan adanya deselerasi variabel
5.      Tekanan pada bagian terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap pintu atas panggul menyebabkan menurunya detak jantung secara tiba-tiba yang menandakan kompresi tali pusat
Diagnosis dini sangat penting untuk kehidupan janin meskipun demikian, keterlambatan diagnosis adalah biasa. Pada setiap gawat janin harus segera melakukan pemeriksaan dalam.
Penderita yang mempunyai resiko tinggi terjadinya prolaps tali pusat harus dipantau FHR yang berkesnimabungan, yang memberi peringatan dini adanya kompresi tali pusat lebih dari 80% kasus.     
 F.      Prognosis
Komplikasi ibu seperti laserasi jalan lahir, ruptura uteri, atonia uteri akibat anestesia, anemia dan infeksi dapat terjadi sebagai akibat dari usaha menyelematkan bayi. Kematian prinatal sekitar 20-30%. Prognosis janin membaik dengan seksio sesarea secara liberal untuk terapi prolaps tali pusat.
Prognosis janin bergantung kepada beberapa faktor berikut.
1.      Angka kematian untuk bayi prematur dengan prolaps tali pusat hampir empat kali lebih tinggi daripada bayi aterm
2.      Bila gawat janin dibuktikan oleh detak jantung yang abnormal, adanya cairan amnion yang terwarnai oleh mekonium, atau tali pusat pulsasinya lemah, maka prognosis janin buruk
3.      Jarak terjadinya antara prolaps dan persalinan merupakan faktor yang paling kritis untuk janin hidup
4.      Dikenalnya segera prolaps memperbaiki kemungkinan janin hidup
5.      Angka kematian janin pada prolaps tali pusat yang letaknya sungsang  atau lintang sama tingginya dengan presentasi kepala hal ini menghapuskan perkiraan bahwa pada kedua letak janin yang abnormal tekanan pada li pusatnya tidak kuat.
G.    Penanganan khusus
Tali pusat berdenyut
Jika tali pusat berdenyut berarti janin masih hidup
1.      Beri oksigen 4-6 liter permenit melalui masker atau kanula masal
2.      Posisi ibu trendelenburg
3.      Diagnosis tahapan persalinan melalui pemeriksaan dalam segera
4.      Jika ibu pada persalinan kala I
a.       Dengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi (DTT) masukkan tangan dalam vagina dan bagian terndah janin di dorong keatas sehingga tahanan pada tali pusat dapat dikurangi.
b.      Tangan yang lain menahan bagian terendah di supprapubis dan evaluasi keberhasilan reposisi.
c.       Jika bagian terbawah janin telah terpegang dengan kuat diatas rongga panggul, keluarkan tangan dari vagina. Letakkan tangan tetap diatas abdomen sampai dilakukan secsio sesarea.
d.      Jika tersedia berikan salbutamol 0,5mg I.V, secara perlahan untuk mengurangi kontraksi rahim
e.       Segera lakukan secsio sesarea.
5.       Jika ibu pada persalinan kala II
a.       Pada presentasi kepala lakukan segera persalinan dengan ekstrasi vakum (hal P-20) atau ekstraksi cunam /forseps (hal. P-24) dengan episiotomi (hal P-16)
b.      Jika presentasi bokong/sungsang lakukan ekstraksi bokong atau kaki (hal. P-32) dan gunakan forseps piper atau panjang untuk melahirkan kepala yang menyusul (hal P-30)
c.       Jika letak lintang, siapkan segera secsio sesarea
d.      Siapkan segera resusitasi neonatus (hal M-118)
H.    Tali Pusat Tak Berdenyut
Jika tali pusat tak berdenyut berarti janin telah meninggal. Keadaan ini sudah tidak merupakan tindakan darurat lagi dan lahirkan bayi sealamiah mungkin tanpa mencederai ibu. Pergunakan waktu untuk memberikan konseling pada ibu dan keluarganya tentang apa yang terjadi dan tindakan apa yang akan dilakukan. Diharapkan persalinan dapat berlangsung spontan pervaginam. 


No comments:

Post a Comment